Sabtu, 27 Juni 2015

Analisis Novel Merantau ke Deli Karya Hamka dengan Pendekatan Strukturalisme

KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa penulis dapat menyelesaikan makalah kritik sastra tentang Analisis Novel Merantau ke Deli Menggunakan Pendekatan Strukturalisme.
Dalam makalah ini, penulis mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Sesilia Seli, M.pd., selaku dosen pengampuh mata kuliah Kritik Sastra yang telah memberikan kesempatan dan memberi pengetahuan sehingga makalah ini dapat selesai dengan baik.
Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan kearah kesempurnaan. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih.

Pontianak, 24 Juni 2015
Penulis

Anggraynie



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
BAB I.................................................................................................................... 1
BAB II.................................................................................................................. 3
A.    Kajian Pustaka........................................................................................... 3
B.     Pendekatan strukturalisme........................................................................ 5
BAB III................................................................................................................. 8
A.    Analisis Tokoh dan Penokohan ................................................................  8
B.     Analisis Alur atau Plot .............................................................................
C.     Analisis Setting atau Latar.............................................................................
D.    Analisis Amanat .......................................................................................
BAB IV................................................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 11



BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Secara etimologis sastra atau sastera berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari akar Cas atau sas dan –tra. Cas dalam bentuk kata kerja yang diturunkan memiliki arti mengarahkan, mengajar, memberikan suatu petunjuk ataupun intruksi.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sastra Indonesia ialah sastra berbahasa Indonesia, sedangkan hasilnya adalah sekian banyak puisi, cerita pendek, novel, roman, dan naskah drama berbahasa Indonesia. Akan tetapi definisi yang singkat dan sederhana itu didebat dengan pendapat yang mengatakan bawa sastra Indonesia adalah keseluruhan sastra yang berkembang di Indonesia selama ini.
Sastra juga dapat dikatakan menghibur dengan cara menyajkan keindahan, memberikan makna terhadap kehidupan (kematian, kesengsaraan, maupun kegembiraan), atau memberikan pelepasan ke dunia imajinasi seperti novel. Novel umumnya terdiri dari sejumlah bab yang masing-masing berisi cerita yang berbeda. Sastra tidak terlepas dari kritik. Beberapa pendekatan dalam kritik sastra adalah pendekatan Pendekatan struktural merupakan pendekatan intrinsik, yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Pendekatan tersebut meneliti karya sastra sebagai karya yang otonom dan terlepas dari latar belakang sosial, sejarah, biografi pengarang dan segala hal yang ada di luar karya sastra (Satoto, 1993: 32). Pendekatan struktural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur karya sastra sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984: 135). Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan struktural adalah suatu pendekatan dalam ilmu sastra yang cara kerjanya menganalisis unsur-unsur struktur yang membangun karya sastra dari dalam, serta mencari relevansi atau keterkaiatan unsur-unsur tersebut dalam rangka mencapai kebulatan makna.

B.     Rumusan Masalah
1.     Bagaimanakah tokoh dan penokohan dalam novel Merantau ke Delli karya Hamka?
2.     Bagaimanakah alur atau plot yang terkandung dalam novel merantau ke delli karya hamka?
3.     Bagaimanakah setting atau latar yang terdapat dalam novel merantau ke delli karya hamka?
4.     Bagaimana amanat yang terkandung dalam novel merantsu ke delli karya hamka?
C.      Tujuan
1.         Pendeskripsian tokoh dan penokohan dalam novel Merantau ke Delli karya Hamka
2.         Pendeskripsian alur atau plot yang terkandung dalam novel merantau ke delli karya hamka
3.         Pendeskripsian setting atau latar yang terdapat dalam novel merantau ke delli karya hamka
4.         Pendeskripsian amanat yang terkandung dalam novel merantsu ke delli karya hamka



BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Ada beberapa kajian pustaka yang harus dipahami terlebih dahulu, yaitu sebagai berikut:
1.      Pendekataan Strukturalisme
Pendekatan struktural merupakan pendekatan intrinsik, yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Pendekatan tersebut meneliti karya sastra sebagai karya yang otonom dan terlepas dari latar belakang sosial, sejarah, biografi pengarang dan segala hal yang ada di luar karya sastra (Satoto, 1993: 32).
2.      Tokoh dan Penokohan
Pendefinisian istilah tokoh, penokohan dan perwatakan banyak diberikan oleh para ahli, berikut ini beberapa definisi tersebut:
a.       Penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkana tokoh-tokoh dalam ceritanya dan bagaimana tokoh-tokoh tersebut, ini berarti ada dua hal penting, yang pertama berhubungan dengan teknik penyampaian sedangkan yang kedua berhubungan dengan watak atau kepribadian tokot-tokoh tersebut (Suroto, 1989: 92-93).
b.      Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas peribadi seorang tokoh (Nurgiyantoro, 2000: 165).
c.       Menurut Hasim dalam (Fanani, 1997: 5) bahwa penokohan adalah cara pengarang untuk menampilkan watak para tokoh di dalam sebuah cerita karena tanpa adanya tokoh, sebuah cerita tidak akan terbentuk.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa tokoh merupakan pelaku pada cerita, sedangkan penokohan adalah sifat atau watak pelaku dalam memerankan aksinya dalam cerita tersebut.
Untuk mengenal watak tokoh dan penciptaan citra tokoh terdapat beberapa cara, yaitu:
a.       Melalui apa yang diperbuat oleh tokoh dan tindakan-tindakannya, terutama sekali bagaimana ia bersikap dalam situasi kritis.
b.      Melalui ucapan-ucapan yang dilontarkan yokoh.
c.       Melalui penggambaran fisik tokoh. Penggambaran bentuk tubuh, wajah dan cara berpakaian, dari sini dapat ditarik sebuah pendiskripsian penulis tentang tokoh cerita.
d.      Melalui jalan pikirannya, terutama untuk mengetahui alasan-alasan tindakannya.
e.       Melalui penerangan langsung dari penulis tentyang watak tokoh ceritanya. Hal itu tentu berbeda dengan cara tidak langsung yang mengungkap watak tokoh lewat perbuatan, ucapan, atau menurut jalan pikirannya (Sumardja, 1997: 65-66).
3.      Alur (plot)
Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dlam keseluruhan karya fiksi. Atar Semi (1993: 43).
Estern Mursal (1990: 26) merumuskan bahwa alur bisa bermacam-macam, seperti berikut ini:
a.         Alur maju (konvensional Progresif ) adalah teknik pengaluran dimana jalan peristriwanta dimulai dari melukiskan keadaan hingga penyelesaian.
b.         Alur mundur (Flash back, sorot balik, regresif), adalah teknik pengaluran dan menetapkan peristiwa dimulai dari penyelesaian kemudian ke titik puncak sampai melukiskan keeadaan.
c.         Alur tarik balik (back tracking), yaitu teknik pengaluran di mana jalan cerita peristiwanya tetap maju, hanya pada tahap-tahap tertentu peristiwa ditarik ke belakang (1990: 26)
4.      Latar (setting)
Lartar atau setting adalah sesuiatu yang menggambarkan situasi atau keadaan dalam penceriteraan. Panuti Sudjiman mengatakan bahawa latar adalah segala keterangan, petunjut, pengacuan yang berkaiatan dengan waktu, ruang dan suasana (1992: 46). Latar atau setting tidak hanya menyaran pada tempat, hubungan waktu maupun juga menyaran pada lingkungan sosial yang berwujud tatacara, adat istiadat dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan.
a.       Latar tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat berupa tempat-tempat yang dapat dijumpai dalam dunia nyata ataupun tempat-tempat tertentu yang tidak disebut dengan jelas tetapi pembaca harus memperkirakan sendiri. Latar tempat tanpa nama biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu misalnya desa, sungai, jalan dan sebagainya. Dalam karya fiksi latar tempat bisa meliputi berbagai lokasi.
b.       Latar waktu
Latar waktu menyaran pada kapan terjadinyaperistiwa-peristiwa yangdiceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap sejarah itu sangat diperlukan agar pembaca dapat masuk dalam suasana cerita.
c.       Latar sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalan karya fiksi. Perilaku itu dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, pandangan hidup, pola pikir dan bersikap. Penandaan latar sosial dapat dilihat dari penggunaan bahasa daerah dan penamaan terhadap diri tokoh.
5.      Amanat
Amanat berasal dari kata significance, yang berurusan dengan makna, yaitu sesuatu yang kias, umun dan subjektif, sehingga harus dilakukan penafsiran. Melalui penafsiran itulah yang memungkinkan adanya perbedaan pendapat (Juhl dalam Teeuw, 1984: 27). Baik pengertian tentang “arti” maupun “makna” keduanya memiliki fungsi yang sama sebagai penyampai gagasan atau ide kepengarangan.



BAB III
ANALISIS
1.      Analisis tokoh dan penokohan novel merantau ke delli karya hamka
a.       Poniem
Dalam novel ini, Poniem digambarkan memiliki banyak karakter oleh penulis karena posisinya sebagai tokoh sentral.
adapun watak poniem dalam novel merantau ke deli sebagai berikut.
1)        Pemaaf
Poniem memiliki jiwa pemaaf, hal ini dapat dibuktikan pada kutipan akhir cerita: “Ketika Poniem dan Suyono sudah pindah ke rumah baru, Leman datang untuk meminta maaf kepada Poniem atas segala kesalahannya. Dengan besar hati Poniem memaafkan Leman.”
2)        Murahan
Dalam novel merantau ke deli, poniem digambarkan sebagai perempuan murahan karna menjadi simpanan. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kutipan dialog sebagai berikut.
a)      “Benar Abang, saya bergaul dengan dia diluar nikah, tetapi hidup saya aman sentausa dengan dia”.
b)      “Tentu saya tidak akan dapat hidup beruntung lagi, saya terpaksa.... ah, saya terpaksa menjadi perempuan lacur..... ...”. Poniem mengatakan kepada Leman bahwa dia terpaksa menjadi pelacur karena terlanjur terjerumus.
3)        Keras Kepala
“Patut saya katakan begitu, karena Abang berbicara main-main”. Leman mencoba untuk membujuk Poniem agar Poniem mau menikah dengan Leman. Namun Poniem masih belum yakin dengan niat baik Leman. “Bagaimana Abang begitu lekas mempercayai saya, dan terburu-buru mengajak saya kawin, padahal belum Abang kenal betul peragai dan kelakuan saya”. Poniem masih belum percaya jika Leman ingin menikahinya. Poniem tetap bersikukuh bahwa semua laki-laki selalu membawa sengsara bagi kuli perempuan seperti dirinya.
4)        Baik Hati
a)      “Bukan main baik hatinya perempuan Jawa itu, pamili kita yang datang berlindung kepadanya jarang sekali yang terlantar atau pulang dengan tangan hampa”. Poniem sedah termashur namanya di kampung. Dia selalu membantu sanak saudaranya. Poniem juga tak segan untuk memberikan modal berdagang kepada sanak saudaranya. Semua orang mengenalnya sebagai perempuan Jawa yang baik hati.
b)      Suat hari datanglah seorang bekas kuli yang kelaparan ke kedai Leman dan Poniem. Kuli itu ingin melamar pekerjaan di kedai Leman. Sudah banyak kedai yang menolaknya, padahal dia juga butuh makan. Melihat kuli itu Poniem menjadi iba dan memperbolehkannya bekerja di kedainya.
b.      Leman
Leman merupakan suami Poniem, watak Leman dalam novel ini sebagai berikut.
1)   Tegas
a)      “Kalau saya yang meminta jadi isteriku, kalau saya ajak engkau ke luar dari kebun ini, karena kontrakmu hanya tinggal sebulan lagi. Kalau saya suruh engkau meninggalkan mandur besar, lalu kita lari ke tempat lain di tanah Deli ini, kita kawin dengan baik ; akan engkau tolak juga kah?”. Leman telah menyamampaikan niat baiknya kepada Poniem untuk menikahi Poniem. Leman akan menikahi Poniem dan mengajak Poniem untuk meninggalkan kebun.
b)      “Oh Poniem, saya tak mau begitu, saya mau kawin, saya berjanji sepenuh bumi dan langit akan memeliharamu akan membelamu. Tidaklah saya mengharapkan harta bendamu, melainkan mengharapkan dirimu. Sungguh Poniem, saya bukan seorang penipu!”. Poniem mengusulkan kepada Leman agar mereka tetap bersama dan berhubungan, namun mereka tidak menikah. Leman tidak menyutujui usulan Poniem.
2)   Bijaksana
“Kau jangan terlalu menghina diri Poniem, semua makhluk bernyawa di dunia ini, sama pada sisi Allah”. Poniem merasa bahwa dirinya rendah. Dia tidak pantas bersanding dengan Leman yang berasal dari Padang. Leman menasehati Poniem jika semua makhluk di dunia ini sama di mata Allah.
3)    Jujur
“Tidak Poniem, barang dicelakakan Allah untukku kalau saya berbicara main-main”. Leman benar-benar yakin untuk menikahi Poniem. Laman sampai bersumpah atas nama Tuhan bahwa dia serius.
4)   Tanggung Jawab
“Demi Allah saya akan melindungi engkau Poniem! Dan biarlah Allah akan memberikan hukuman yang setimpal kepada saya, kalau saya mungkir”. Leman berjanji akan melindungi Poniem. Bahkan Leman bersumpah atas nama Tuhan.
“Kerja laki-laki mencarikan buat dia, membuatkan rumah, memberikan tambahan sawah ladangnya”.



5)   Pemarah
“Barangkali sakit dibuat-buat, karena hendak memberi malu Mariatun”. Leman marah kepada Poniem. Leman menuduh poniem sengaja mempermalukan Mariatun di depan Leman.
c.       Suyono
Suyono mempunyai nasib yang sama dengan Poniem. Suyono menjadi kuli di kebun. Ketika masa kontrak Suyono sudah habis, dia melamar pekerjaan di kedai Leman. Leman meminta pertimbangan Poniem untuk mempekerjakan Suyono di kedai. Dengan kebaikan hati Poniem, Suyono bisa bekerja di kedai.
Pada
akhirnya Suyono menjadi suami Poniem. Watak Suyono dalam novel merantau ke deli sebagai berikut.
1)   Ramah
“Sikapnya ramah tamah kepada pembeli, apalagi terhadap kuli yang sebangsanya”. Suyono selalu baik kepada semua orang, terutama kepada kuli seperti dirinya. Dia selalu mematuhi perintah Leman dan Poniem sehingga beberapa bulan kemudian Suyono tidak hanya menjadi tukang cuci piring, tetapi sudah ikut berdagang bersama Leman dan Poniem.
2)   Setia
a)         “Bekas kuli kontrak yang setia itu diam saja”. Leman tidak percaya bahwa perdagangannya sedang sepi. Dia membuka-buka kotak yang ditaruh dia atas lemari. Leman kesal karena kotak itu kosong. Suyono hanya diam melihat tingkah majikannya itu.
b)        “..., yang membelanya waktu terjadi hal yang kusut, ialah Suyono orang gajian yang setia itu”. Setelah mengetahuo penyebab mengapa perdagangannya sepi, Leman akhirnya menyerahkan kedainya kepada Suyono. Sukses atau tidaknya kedai Leman sekarang menjadi tanggung jawab Suyono. 
d.      Mariatun
Mariatun merupakan istri kedua Leman yang berasal dari Minangkabau. Mariatun memiliki watak sebagai berikut.
1)        Pemalas
“Dia tidur di loteng, bangunnya tinggi hari, turunnya dari tangga loteng itu dilambat-lambatkannya kakiknya, ....” Poniem dan Mariatun akhirnya tinggal dalam satu rumah juga. Semakin lama sifat Mariatun semakin terlihat. Mariatun seorang yang pemalas. Kerjanya hanya memerintah dan berdandan.
2)        Kasar
“Dengan perkataan agak kasar dijawabnya : “Orang yang enak masakannya sakit kepala” Leman makan siang dengan masakan Mariatun. Namun rasa masakan Mariatun tidak enak. Dengan kasar Leman memprotes Mariatun.
“Mariatun
, mengapa sudah sampai ke sana kasarnya perkataanmu?”. Mariatun sudah keterlaluan. Dia berlaku seenaknya saja di rumah. Bahkan dengan tega dia menghina Poniem.
2.      Analisis alur atau plot yang terkandung dalam novel merantau ke delli karya hamka
Alur yang digunakan pengarang dalam novel ini adalah alur maju. Alur maju yang menceritakan perjuangan tokoh Poinem keluar dari hidup sebagai kuli sekaligus pelacur. Setelah menikah dengan Leman orang Minangkabau, hidupnya menjadi sejahtera. Namun belum lama usia pernikahan mereka, Leman berniat menikah lagi dengan Mariatun.
Awalnya Poniem menerima dipoligami, namun kelancangan sikap Mariatun menyebabkan Poniem dan Leman bercerai. Poniem pergi meninggalkan rumah.
Mengetahui Poniem akan pergi dari rumah, Suyono langsung mengemasi pakaiannya dan meminta berhenti bekerja pada Leman. Suyono ingin mengikuti kemana pun Poniem pergi.
Tiga tahun kemudian, Poniem dan Suyono menikah, mereka mengangkat anak asuh yang bernama Maryam. Poniem dan Suyono membeli rumah di tanah Deli. Sedangkan Leman dan Mariatun menjadi miskin. Sikap tamak Mariatun telah menghabiskan seluruh harta Leman.
Ketika Poniem dan Suyono sudah pindah ke rumah baru, Leman datang untuk meminta maaf kepada Poniem atas segala kesalahannya. Dengan besar hati Poniem memaafkan Leman.
3.      Analisis setting atau latar yang terdapat dalam novel merantau ke delli karya hamka
a.       Latar tempat
1)        Tanah Deli
“Mereka ditipu, dikatakan bahwa pekerjaan di Tanah Deli itu amat senang, ... “.
2)        Tanjung Priok
“Rupanya setelah sampai di Tanjung Priok barulah saya tahu bahwa suami saya itu bukanlah seseorang baik-baik”. Poniem diajak menikah oleh laki-laki yang mengaku nantinya Poniem akan dibawa meranntau ke Deli. Orang tua Poniem diiming-imingi uang diawal pertemuan mereka dengan laki-laki yang akan memperistri Poniem
3)        Medan
“Tiap-tiap bulan tua, dia sendiri yang pergi ke Medan membeli barang-barang baru, ...”.
Para saudagar besar sangat percaya kepada Leman. Para pedagang itu selalu memberikan dagangan mereka kepada Leman untuk dijual.
“Kepada induk semang di Medan telah dikatakan terus terang bahwa pangkal bulan yang sekali ini mereka tidak akan setor”. Poniem dan Leman menyiapkan uang untuk pulang ke kampung halaman. Mereka sudah menentukan hari keberangkatan mereka.
4)        Minangkabau
“Rumah-rmah di Minangkabau tidak tersedia untuk saudara laki-laki yang hendak membawa isterinya tingal di sana” Leman dan Poniem sebenarnya ingin tinggal di kampung halaman selama sebulan atau dua bulan. Namun baru setengah bulan mereka sudah tidak nyaman. Saudara-saudara perempuan Leman tinggal bersama suami mereka di kamar masing-masing. Rumah-rumah kampung halaman Leman tidak menyediakan kamar bagi saudara laki-laki yang membawa istrinya. Sedangkan Poniem harus tinggal di mana selama mereka ada di kampung halaman Leman.
b.      Latar suasana
1)        Ramai
“Ramai dan riuh rendah orang di kebun”. Pada tanggal satu para pekerja mendapatkan upah bulanan. Para bekerja berlarian dari dalam kantor setelah mereka menerima gaji.
“Bertambah lama halaman itu bertambah ramai”. Setibanya Leman dan Poniem di kampung halaman Leman, semua sanak seudara Leman menyambut mereka dengan ramah.
2)        Senang
“Bila hari telah malam dan kedai ditutup mereka duduk berdua berhadap-hadapan dengan muka yang penuh riang gembira”. Setelah kedai Leman tutup, mereka duduk berdua dengan hati yang gembira.
3)        Menegangkan
“Hampir terjadi pergumulan hebat, tapi sebaik hendak bergumul selekas itu pula Suyono datang memisahkan”. Poniem dan Mariatun beradu mulut. Hampir saja mereka beradu fisik, namun dengan tanggapnya Suyono segera melerai mereka.
c.       Latar Waktu
1)        Malam
a)      “Setelah lepas pukul delapan, lenganlah tempat itu, tapi mereka menunggu sampai pukul 12 atau pukul satu malam”.
b)      “Bertambah larut hari bertambah asyiklah orang berjudi,... “. Semakin malam keadaan pasar semakin ramai, banyak kuli yang berjudi.
“Apa yang akan abang bicarakan, katakanlah sekarng, hari sudah larut malam, kalau saya telat kembali kerumah marah Kang Mandur kepadaku”. Leman sedang berbicara kepada Poniem—kuli kontrak perempuan. Leman ingin berbicara penting dengan Poniem pada tanggal 18 sore di kedai.
“Bila hari telah malam dan kedai ditutup mereka duduk berdua berhadap-hadapan dengan muka yang penuh riang gembira”. Setelah kedai Leman tutup, mereka duduk berdua dengan hati yang gembira.
2)        Sore
“Tanggal dua puluh dua sore..... Mereka telah bertemu kembali”. Poniem dan Leman bertemu kembali. Leman kembali menanyakan bagaimana keputusan Poniem atas niat baik Leman untuk menikahinya.
3)        Pagi
“Dari Siantar mereka meneruskan perjalanan sepagi itu dengan diam-diam, menuju Medan”. Poniem akhirnya memutuskan untuk menikah dengan Leman. Mereka kabur dari Kang Mandur pagi-pagi menuju Medan. Poniem kabur membawa semua harta benda yang telah diberi oleh Kang Mandur.
4.      Analisis amanat dalam novel merantau ke deli karya hamka
Amanat yang terkandung dalam Novel Merantau ke Deli ini mengajarkan kita untuk tidak menyia-nyiakan sesorang yang mencintai dan berjuang dengan sungguh-sungguh untuk hidup dengan kita, dan menerima kita apa adanya. Karena kita akan menyesal dan merasa kehilangann. Seperti tokoh Leman yang menyia-nyiakan Poniem. Leman lebih memilih menikah lagi dengan Mariatun daripada setia menjaga perasaan istrinya. 

Setelah Leman bercerai dengan Poniem dan jatuh miskin, baru lah Leman menyesali perbuatannya dulu.

Sabtu, 06 Juni 2015

tugas kuliah: menulis Feature



Kota wali, kota sejuta beradaban
Bisakah kita sedikit lebih lama menikmati estetika alam di kota ini? Sang waktu kini semakin rakus meraup tiap-tiap detik perjalanan demi perjalanan hebat ini. Ada bimbang yang mengepul disana karena perasaan naif ini belum cukup puas merekam detail-detail kota wali ini.
Ya. Tepat hari ini kami mengunjungi kabupaten Demak, Jawa Tengah yang lebih terkenal oleh wisatawan muslim dengan sebutan Kota Wali, kota dengan beribu peradaban dan sejarah. Kota agung yang disananyalah terdoktrin ajaran-ajaran islam yang sebelumnya pada abad ke-16 menjadi kota pusat kerajaan besar yang didirikan oleh Raden Patah yang kemudian menjadi kerajaan islam pertama di Pulau Jawa.
Kerajaan islam Demak ini mewariskan salah satu kejayaannya yaitu Masjid Agung Demak yang hingga kini masih selalu dikunjungi oleh para peziarah serta wisatawan domestik maupun manca negara. Kota ini menduduki rangking kedua setelah Candi Borobudur dalam hal banyaknya jumlah pengunjung.
Butuh waktu kurang lebih satu jam perjalanan menggunakan bus dari kota Semarang menuju kabupaten Demak. Setibanya di Demak, kami mengitari alun-alun yang di sepanjang jalan masuknya tumbuh berjejer pohon waringin (beringin). Matahari mulai mencakar langit-langit, udara memang terasa panas namun, tidak menyengat karena banyak pepohonan dan rerumputan hijau yang membuat alun-alun begitu asri.
Azan berkumandang, waktu zuhur telah tiba. Kami bergegas meneruskan perjalanan menuju masjid agung yang dibangun tidak jauh dari alun-alun. Masjid ini merupakan masjid yang tertua di Indonesia yang dipercayai pernah menjadi tempat berkumpulnya para ulama (wali) penyebar agama Islam. Masjid ini berhalaman cukup luas, di halamannya terdapat tanaman bunga yang tumbuh dengan apik mengelilingi halaman masjid. Ketika menginjakkan kaki ke lantai, kami merasakan segenap aliran darah beredar dengan tenang. Lantainya dingin, berwarga agak gelap. Di dalam masjid terdapat beberapa tiang kayu raksasa, orang jawa menyebutnya saka guru, yang dibuat oleh beberapa wali diantara wali songo.  
Masjid ini mempunyai bangunan-bangunan induk dan serambi. Bangunan induk memiliki empat tiang utama yang disebut saka guru. Bangunan serambi merupakan bangunan terbuka. Atapnya berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang disebut Saka Majapahit.
Indah bukan kepalang. Masjid ini  memiliki keistimewaan berupa arsitektur khas ala Nusantara. Masjid ini  menggunakan atap limas bersusun tiga yang berbentuk segitiga sama kaki. Atap limas  ini berbeda dengan umumnya atap masjid di Timur Tengah yang lebih terbiasa dengan  bentuk kubah. Ternyata model atap limas bersusun tiga ini mempunyai makna,  yaitu bahwa seorang beriman perlu menapaki tiga tingkatan penting dalam keberagamaannya: iman, Islam, dan ihsan.
Seluruh seluk beluk yang dibangun pada masjid ini memiliki filosofi tersendiri, misalnya Serambi masjid berbentuk bangunan yang terbuka yang memiliki lima  buah pintu yang menghubungkan satu bagian dengan bagian lain, ini memiliki  makna rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Masjid ini juga memiliki enam buah jendela, yang juga memiliki makna rukun iman, yaitu percaya  kepada Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari  kiamat, dan qadha-qadar-Nya.
Bentuk bangunan  masjid banyak menggunakan bahan dari kayu. Dengan bahan ini, pembuatan bentuk  bulat dengan lengkung-lengkungan akan lebih mudah. Interior bagian dalam masjid  juga menggunakan bahan dari kayu dengan ukir-ukiran yang begitu indah dan terasa sejuk.
Bentuk bangunan masjid yang unik tersebut ternyata hasil kreativitas masyarakat pada saat itu. Di samping banyak mengadopsi perkembangan arsitektur lokal ketika itu, kondisi iklim tropis (di antaranya berupa ketersediaan kayu) juga mempengaruhi proses pembangunan masjid.
C360_2014-08-06-09-07-46-766.jpg
Setelah menunaikan ibadah, kami mengambil potret di depan masjid, sebagai kenang-kenangan perjalanan. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan di lingkungan masjid yang  juga terdapat komplek makam sultan-sultan Demak dan  para abdinya. Di sana juga terdapat sebuah museum, yang berisi berbagai hal mengenai riwayat berdirinya Masjid Agung Demak.
Sesampainya di makam, banyak rombongan peziarah yang turun dari bus, kemudian dengan didampingi oleh petugas makam, mereka membaca doa dan zikir. Doa dipanjatkan dengan khidmat dan khusyuk di sebuah pondopo. Selanjutnya setelah berdoa, para rombongan diajak berkeliling melihat-lihat makam wali. Sambil melihat orang-orang yang berdatangan silih berganti, baik dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum, tidak lupa kami mengisi daftar buku tamu dan menyelipkan uang pada kotak yang telah disediakan. Lorong demi lorong kami lewati, membayangkan keadaan zaman sebelum islam berhasil disebarkan. Kami seperti kembali ke masa lalu, membaca uraian demi uraian yang terpampang pada dinding bangunan. Setelah puas berekeliling, kami makan di warung kecil. Harga makanan yang ada di sana sangat murah, dengan uang lima ribu rupiah kalian bisa memesan soto ayam beserta nasi dan kalian akan merasakan nasi pecel dengan harga tiga ribu rupiah. Hemmm sangat berbanding jauh bukan dengan kota khatulistiwa?
Setelah makan, kami memutuskan berangkat lagi menuju kabupaten kudus untuk berziarah ke makam sunan muria yang terletak di desa colo, kecamatan dawe. Bagi kalian penikmat wisata religi, satu lagi objek yang wajib dikunjungi ketika singgah di Kabupaten Kudus. Adalah Makam Sunan Muria Syeh R.Umar Sa'id yang berada di lereng Gunung Muria. Lokasi wisata religi ini berjarak sekitar 18 kilometer dari pusat kota Kudus
Kami berangkat menggunakan kendaraan umum dengan membayar uang sejumlah lima belas ribu untuk tiga orang. Makam sunan muria berlokasi di atas sebuah bukit. Sehingga para peziarah yang hendak berziarah harus menapaki anak tangga sejauh + 500 meter. Di kiri kanan anak tangga berderet kios para penjual makanan dan souvenir seperti baju batik, pernak pernik, kipas, tasbih dan lain-lain.
Bagi yang tidak kuat mendaki anak tangga bisa memilih jasa tukang ojek. Dengan jasa ini selain bisa menghemat energi, selama perjalanan kita akan disuguhi pemandangan yang menarik.
Bagaimana tidak menarik, kalau ketika melaju di tepian bukit tukang ojek melaju dengan ganas. Sejauh mata memandang hanya ada hamparan gunung dibalut asap kabut karena udara disana sangat dingin. Dana yang harus dikeluarkan ketika naik senilai delapan ribu rupih, dan jika ingin turun menggunakan ojek lagi dana yang akan dikeluarkan sejumlah lima ribu rupiah saja.
Untuk mencapai makam yang berada satu kompleks dengan Masjid Sunan Muria ini,
kami harus melalui ratusan anak tangga dari pintu gerbang. Sejumlah peninggalan Sunan Muria masih dapat dijumpai, seperti bangunan masjid beratap Joglo bertingkat tiga dan beratap kayu sirap.
Selain itu,
kami menikmati bahan bangunan lama seperti tempat salat imam, fondasi empat soko masjid atau 'umpak', juga sebuah bedug yang dibuat tahun 1834.
C360_2014-08-07-07-19-02-027.jpg