Pay Sepok, Membangun Mimpi lewat Inspirasi
Oleh: Anggraynie
PY. Djarot Sujarwo, kemudian akrab disapa menjadi Pay
Jarot Sujarwo. Berkelahiran di Pontianak, 5 juli 34 tahun yang lalu ini
merupakan Penulis asal Kalimantan Barat yang telah menjajaki dunia kepenulisan
dari sejak tahun 2002.
Jika kalian pernah menyempatkan diri bermain ke
perpustakaan daerah ketika sore hari, kalian pasti akan menemukan seseorang
dengan kulit kehitaman, berambut agak panjang dan berponi yang menutupi dahi,
jakung, berpenampilan tidak rapi, serta memegang buku di tangan, dan sering
menghabiskan sore di beranda perpustakaan daerah sambil menghirup udara sore
penuh volusi, tanpa terkecuali kopi yang senantiasa menemani teman
bersantainya. siapa lagi kalau bukan
penulis lokal Pay Jarot Sujarwo yang pernah memiliki “rumah mimpi”.
Tidak ada yang lebih mengasyikkan selain duduk bersantai
menikmati angin sepoi-sepoi sambil menyantap lemon tea --untuk aku, serta kopi --untuk
seseorang yang sekarang akrab kusapa dengan Bang Pay, di teras perpustakaan
daerah saat ini.
waktu menunjukkan pukul 16.00. WIB. Jika di kota kalian cuaca pada pukul
tersebut teduh dan segar, maka lain halnya di kota Pontianak, Kalimantan Barat.
Walaupun telah memasuki batas sore, namun cuaca disini tetap terasa panas dan
menyengat, belum lagi debu-debu yang beterbangan mengikuti arus semilir angin.
Jadi wajar saja kalau masyarakat pontianak memiliki kulit sawo matang, bahkan
kecoklatan tua, termasuklah si penulis setia kalimantan barat ini.
Jauh dari hiruk piruk kesibukan orang-orang bekerja, pulang kuliah,
nongkrong atau hanya sekedar jalan jalan sore, Obrolan-obrolan ringan
mengiringi arus perbincangan kami—aku dan Pay.
Perbincangan ini tidak berawal dari kata “mula-mula” atau berakhir dengan
kata “sekian” karena tidak semua cerita berkisah dari awal. Begitu pula yang
terjadi dalam obrolan ringan kali ini. Tanpa kaku dan senyum yang
dikulum-kulum, semua terasa santai dan menggairahkan, Pay yang tidak sekolah di
jurusan perdagangan, namun mampu menjual beribu-ribu buku yang ia terbitkan
sendiri secara indin. Mulai dari buku Nol Derajat hingga Sepok Duak yang saat
ini sudah habis terjual. Ia tidak berasal dari keluarga serba ada, namun mampu
berkeliling pulau kalimantan Barat hingga menjelajah ke batas Belanda. Dan yang
lebih mengesalkan lagi, ia tidak tamat kuliah pendidikan Bahasa Indonesia namun
mampu melahirkan buku-buku luar biasa.
Apakah belasan atau beberapa puluh tahun yang lalu, ia
tidak puas mendapatkan kasih sayang, tidak betah diam di rumah karena mengalami
peristiwa “broken home” orang tua
yang bercerai karena sang ayah yang berselingkuh. Ini sungguh klise –bagi kita.
Namun, benar-benar membuatnya merasa selalu ingin hidup di luar, hidup
sebebas-bebasnya menikmati gemilang sunyi malam, membangun kehidupan baru dari
perjalanan demi perjalanan dan segala sesuatu yang tidak membuat jiwanya bosan dimarah-marah
oleh orang tua. Jika kalian pernah mendengar lagu Last Child yang berjudul Diary
Depresiku, maka seperti itulah gambaran suasana hati penulis yang sejak kecil suka
hidup sendirian ini.
14 Januari 1989. jam
02.13 dini hari
Waktu itu usianya 8 tahun. Pay sering sekali mendengar pertengkaran hebat
dari orang tuanya. Malam itu entah kali keberapa ayahnya mengamuk, ibunya
menangis, berteriak yang membuat matanya sulit sekali terpejam. Pipinya banjir
oleh air mata, jantungnya berdegub tak karuan, hatinya mengamuk. Pay takut
terjadi sesuatu pada ibunya. Tapi apa daya, ia masih terlalu kecil untuk
menengahi pertengkaran hebat itu. “Laki-laki kurang ajar.
Pengkhianat!”. Terdengar teriakan maha dahsyat dari luar kamar. Suara gaduh itu
semakin dekat saja membuat nyalinya menciut saat hendak membuka pintu dan
menyaksikan yang sedang terjadi. Pay kecil hanya bisa berdoa agar Tuhan masih
melindungi ia dan keluarga agar hidup rukun seperti orang lain.
7 tahun telah lewat. Kini usia Pay
menginjak angka ke 15. Semakin kesini Pay semakin tak pernah mendapat suasana
bahagia dalam rumah. Luka yang pedih semakin pedih, sakit kerinduan terhadap
kasih sayang orang tua semakin tak ada penawarnya. Kelurga Pay pecah. Pay
memutuskan meninggalkan rumah. Kabur sejauh mungkin meninggalkan ibu, ayah, dua
adik dan kampung halamannya. Seringkali ibu menyuruhnya pulang. Namun, pay yang
tanggung dan labil tak mau menghabiskan malam-malam panjang bersama
pertengkaran ayah ibunya. Hidup sendiri bukanlah hal yang berat. Bukankah dari
kecil dia memang hidup sendiri tanpa kasih sayang orang tua, terbiasa
menyiapkan makanan sendiri, memasak nasi, dan mencari uang dengan mengamen.
Peristiwa-peristiwa itulah yang pada akhirnya membawa Pay begitu menyayangi
anak-anak, terlebih sangat menghargai kaum perempuan.
Seiring berjalannya waktu, mengenyam pendidikan SD, SMP, hingga lulus SMA,
pay ingin melanjutkan kuliah di yogyakarta.
“Pak, aku mau kuliah di Jogja”
Ayahnya terkejut bukan kepalang mendengar pernyataannya. Karena ayahnya
bukan lagi PNS yang punya hasil memadai. Kini ia harus membagi penghasilannya
untuk dua keluarga. Pay mengancam akan jadi gelandangan jika keinginannya
kuliah di Jogja tidak mendapat izin. Pay ingin jauh dari kota kesedihan yang
membuatnya acapkali terpukul.
Sejak kecil Pay suka menulis catatan harian. Jika ditanya “abang menulis
sejak kapan?” maka ia akan menjawab dengan tegas “saya senang menulis sejak
SD”. Pada tahun 2002, ketika kuliah, seperti biasa ia menulis kejadian yang ia
alamai. Sampai pada suatu hari kawannya menyarankan untuk membuat sebuah buku.
“coba kau buat buku cerpen atau novel. Kan kau suka nulis catatan harian.”
“bagaimana caranya?” Pay bertanya dengan nada bingung, karna sebelumnya tak
pernah terlintas dalam pikirannya mengenai hal itu.
“itu gampang” kawannya melanjutkan, “kau gabungkan saja semua catatan
harianmu, maka jadilah sebuah buku”
Apakah
sesederhana itu? Tentu tidak. Ketika itu Pay kebingungan. Perjalanan awal
proses kepenulisannya dimulai saat ia menjadi salah satu anggota komunitas
teater di kampus, kemudian masuk sanggar dan sering menghabiskan malam-malam
dengan diskusi, menulis beberapa puisi dan cerpen serta mengirimkannya ke
beberapa media masa, mementaskan drama. Semakin hari, Pay semakin dekat dengan
dunia seni, Jogja dan segala kebudayaan yang ada di dalamnya. Hal-hal yang dialaminya pada masa kecil
menjadi inspirasi utama dalam tulisannya. Saat di sanggar, pada hari minggu, ia
dan teman-temannya selalu disuruh membaca koran oleh senior. Jika tak ada uang
untuk membeli, maka mereka harus iuran untuk mendapatkan koran. Dari situlah ia
mengenal Afrizal Malna, Teguh Winarso, Beni Setia, Putut EA, Iman Budhi
Santosa, Hasta Indriana dll. Tentu saja bukan hanya nama mereka yang ia kenal,
tapi juga karyanya. Pada saat itu, merupakan giat-giatnya Pay membaca dan
belajar menulis. Diantara semua jenis tulisan yang ia baca, ia sangat tertarik
dengan tulisan yang berjudul Jejak Air, yang ditulis oleh Phutut E.A. Tulisan Ini merupakan
sebuah buku biografi politik Nani Zulminarni. Seorang aktivis perempuan asal
Ketapang Kalimantan yang kemudian malang melintang di dunia LSM di Jakarta
bahkan internasional. Buku ini
berkisah tentang kehidupan seorang perempuan yang bersama ribuan perempuan
miskin terus bergerak melawan kemiskinan dan ketidakadilan. Alasan lain Pay
begitu tertarik dengan Jejak Air karya Phutut E.A ini sebab Puthut EA dengan
bahasanya yang mengalir santai dan khas, mampu menyihirnya untuk terus membuka
lembar demi lembar buku tersebut.
Diantara puisi
dan cerpen, Pay lebih suka menuis cerpen karena menurutnya Ada ruang
yang lebih luas ketika kita menulis cerpen. “ketika
menulis cerpen, aku bisa lebih asik dalam bermain-main dengan kalimat. Juga
persoalan imajinasi. Entah kenapa, bagiku imajinasiku lebih tersalurkan ketika
menulis cerpen. Konflik, alur, setting, mengejutkan pembaca dengan ending,
merupakan hal-hal yang begitu menarik bagiku,” tuturnya.
Namun, ada satu puisi yg paling berkesan yang
pernah ia tulis, yaitu berjudul Kekasih,
kemarau kali ini tidak ada jingga, tidak ada jingga. Ia menulisnya pada tahun 2006. Puisi ini bercerita
tentang romantisme sepasang kekasih yang kemudian terganggu karena musim. Hutan
terbakar. Kabut di sepanjang kapuas. Romantisme tersebut menjadi buyar karena
perkara musim.
“Ada fenomena sosial yang kumasukkan dalam puisi ini.” Yang membuat puisi ini menjadi spesial adalah, saat ia
membacakannya dalam pertemuan penyair di Bulgaria. Sungguh luar biasa bukan? “dihadiri begitu banyak penyair. Fokus
dan perhatiannya, semuanya, tertuju padaku. Tentang caraku membaca.” Ujarnya dengan penuh kebanggaan. Siapa sangka, Pay yang dulunya liar,
sekarang telah menjadi sorotan mata orang-orang.
Walaupun Pay fokus menulis ketika melanjutkan hidup
di Jogja, namun sejak SD dia sudah pernah menulis puisi dan cerpen. Cerpen yang
ia tulis waktu kecil berjudul Perpustakaan
di Sekolahku. Ia menulisnya ketika mengikuti
kompetisi PORSENI.
Pada tahu 2005, Pay menerbitkan buku pertamanya
bersama Yophie Tiara dan Amrin Zuraidi Rawansyah yang berjudul Nol Derajat. Buku ini merupakan kumpulan cerpen bersama yang
mereka tulis. Pasca penerbitan mereka disebut-sebut sebagai orang muda yang punya keberanian. Mereka selalu menghabiskan malam demi
malam di Taman Budaya. Buku perdana yang mereka terbitkan secara indin sudah
banyak terjual. Tapi sayang, manajemen
keuangan mereka buruk. Ketika itu Pay nekat mendirikan lembaga penerbitan
sendiri di kota Pontianak yang ia beri nama Pijar Publishing. penerbit
Pijar Publishing ini telah
menerbitkan buku-buku yang ditulis pengarang lokal Kalimantan Barat. Markasnya terletak di Jl. Adisucipto gg.
Tridharma No. 5 Pontianak (Publish in Borneo Tribune, 8 Juli 2007).
2009.
Ada cerita unik dibalik terbitnya buku yang ditulis
Pay. Waktu itu dua bulan Pay menggandeng laptop baru. Namun, malang tak dapat
diubah, musibah tak dapat diterka. Ia kehilangan laptop baru yang masih dalam
masa tanggungan kredit. Hahahah Pay sungguh stress. Gundah gulana. Galau
berkepanjangan. Butuh waktu dua minggu bagi Pay untuk bangkit dan melanjutkan
menulis. Ia ke warnet. Dari pagi hingga pagi. Tak peduli siang, tak peduli petang. Ia terus menulis. Istirahat
hanya makan dan tidur. Kemudian menulis,
menulis, dan menulis lagi. Ia mencoba mengumpulkan naskah-naskah yang masih berserakan di internet, dan mengumpulkan kembali opini serta artikel yang pernah
terbit di media cetak. Kemudian menyusunnya
menjadi buku. Hingga pada akhirnya terbitlah
satu buku dengan jumlah halaman: 191 halaman, yang berjudul Kalau Laptopku
Tidak Hilang, Mungkin Buku ini Tidak Akan Terbit. Buku ini
merupakan buku paling berkesan yang pernah ia tulis. Ada empat
sahabat terbaik yang diceritakan dalam buku ini. Buku ini
cukup emosional. Pembacanya tertawa ketika membaca. Jangankan membaca bukunya, mendengar cerita kehilangan laptopnya saja
hatiku sudah terpingkal-pingkal membayangkan sorang dengan tampang sangar,
rambut gondrong menangisi laptop yang hilang. Pay menulis sambil menangis
mengingat arsip-arsip penting dalam laptopnya yang hilang.
Satu lagi kisah lucu yang pernah ia ceritakan
kepadaku. Pay yang pandai berdagang, menjajakan buku-bukunya ke
sekolah-sekolah. Sebelum meminta izin untuk memberikan sosialisasi, ia
berhadapan langsung dengan guru dan kepala sekolah sambil membawa buku yang
sudah ia cetak. Pay bercerita sedemikian rupa, meyakinkan guru-guru dan kepala
sekolah bahwa seorang Pay Jarot Sujarwo adalah penulis profesional, Cerpennya
pernah memenangkan lomba penulisan cerpen oleh Yayasan Cakra Pustaka Surakarta
(2002). Salah satu cerpennya masuk dalam Kumpulan Cerpen Terbaik Balairung,
Yogyakarta (KCTB, 2003). Karyanya dimuat dalam Buku Kumpulan Cerpen bersama
dengan judul Nol Derajat, terbitan Pena Khatulistiwa (2005) bla bla bla dan seterusnya. Hingga pada akhirnya pihak sekolah mengizinkannya memberikan sosialisasi dan menjual
buku. Hari yang ditunggu-tunggupun tiba, pada keesokan harinya, dengan semangat
menggebu-gebu ia datang lagi ke sekolah sendirian. Pihak sekolah heran dan
bertanya “loh mana Pay Jarot Sujarwonya?”
“saya sendiri, pak,” jawab pay sambil tersenyum.
Pihak sekolah sedikit tidak percaya mendengarnya. Melihat seseorang dengan
penampilan tidak rapi, baju kaos, badan kurus seperti orang tidak terurus
ternyata adalah seorang penulis yang ia ceritakan kepada pihak sekolah. Pihak
sekolah menyangka bahwa ia bukanlah Pay Jarot Sujarwo yang ia ceritakan,
melainkan seorang kurir buku. Selain itu Pay pernah menuliskan kisah lucunya
pada tanggal 2 September 2013
dah berape hari dah aku balek pontianak ni? kalok ndak
salah belom seminggu. dari hari pertame sampai sekarang, tiap hari aku keliling
kote pontianak. ngantarkan buku ke budak-budak yang udah pade pesan jaoh-jaoh
hari. dari rumah ke rumah. petame, sms lok, atau kirem inbok tang pesbuk mintak
alamat. kalok komunikasi dah bagos, baruklah mulai keliling.
Ntah dah berape rumah dah kedatangek.
tadak semue ketemu tang rumah. ade gak yang ketemu tang tepi jalan. ade yang
ketemu tang warong kopi. ade disuroh-e aku datang tang kantor. macam-macam
tempat. nah, tang macam-macam tempat ni, aku jumpe tebiat budak-budak yang
macam-macak pulak.
maseh ingat kan cerite emak duak anak yang sebok
moto-ek aku? tegal aku posting cerite itu tang blog ni, lalulah tiap aku
ngantarkan buku, mulai budak-budak tu mintak poto. aku sih suke jak kenak poto.
selaen tegal poto, banyak tebiat budak-budak ni yang kujumpe. ini aku tuleskan
sutik-sutik yang kuingat:
- Adri : nantek aku nak bikin buku tentang si pay lok. pay ni penomenal. tak pernah kan kitak nengok ade penulis yang sehe ndatangek rumah-rumah orang yang nek mbeli buku die. mantap kisah si pay ni. nak kutules lok. (budak ini macam yeye. dipuji-e aku. sampai nak dibikinkan aku ni buku. kite tengok yak nantik, ntah jadi ke tadak buku tu. cebok aku sih mulot jak)
- Adri : nantek aku nak bikin buku tentang si pay lok. pay ni penomenal. tak pernah kan kitak nengok ade penulis yang sehe ndatangek rumah-rumah orang yang nek mbeli buku die. mantap kisah si pay ni. nak kutules lok. (budak ini macam yeye. dipuji-e aku. sampai nak dibikinkan aku ni buku. kite tengok yak nantik, ntah jadi ke tadak buku tu. cebok aku sih mulot jak)
- putri : bang, sebenar-e kamek tadek nak bepoto same mintak tande tangan, tapi kamek malu bang-e, sekarang dah sampai rumah, baruklah kamek nyesal (ini isik SMS dari budak yang tau malu. tadak macam penjual buku ni, tak tau malu)
- Titien : alamak, ahernye ketemu gak kite. selamak ini cume lewat pesbuk jak. kenalan lah lok kite (budak ini ngasikkan tangan-e. lalu kamek bejabat. die nyebotkan name-e, agak getek sikit, tak sadar dah belaki. abes kenalan, die pon ngasik duet tige limak, abes itu aku bedesut pegi)
- budi : Abes bace sepok, aku merase jadi ganteng (entah cemane jak buroknye muke budak ini ni seandainye tadak diselamatkan buku sepok)
- viona : bang, kamek maok abang yang ngantarkan buku tu bang. tak usah orang laen (merengek-rengek budak ni pas ceting tang pesbuk. lalu aku pon datanglah ngantarkan buku.) alamak bang, ngape pulak lamak benar datangnye ni, dah lumos dah muke kamek nyia (kate dirik die lumos, padahal lawar) poto lah lok sikit bang (die mintak poto kawan kantor-e. jadi kamek beduak. kate die mintak poto sikit. rupe bekali-kali die mintak poto. tak puas pakai kamera. pakai hape pulak die mintak poto. abes itu mintak tande tangan buku. abes itu tesenyum. untong senyumnye tu nyejukkan ati)
deny : ahernye datang gak buku keramat ni (budak ini posting tang pesbuk die. dibilangnye sepok buku keramat. baet-baet kau kalok bace buku sepok malam-malam, buku tu berasap. lalu poto tang dalam tu begerak-gerak sambel ngedipkan mate. alamak, jaoh kan bale lah.)
- xxxx : (name sengaje dirahasiekan.) bang, benar-benar tak sabar kamek nunggu buku abang ni. lamak benar ngantarnye. kalok besok abang maseh tadak ngantarkan buku itu, kamek bunoh dirik (ini sms yang sampai sekarang bikin aku tak bise tidok. ya auloh, ngape pulak jadi macam ini ni. nak bunoh dirik segale. panas dingin aku dibuatkannye)
hahah bagiku ini mirip seperti
teks anekdot dalam pembelajaran SMA kurikulum 2013.
Apa motto hidup seorang Pay,
penulis Profesional ini?
“soal motto, aku selalu berubah-ubah. Labil. Haha. Tapi
baiklah, aku akan menulis motto yang mudah-mudahan tidak berubah-ubah lagi.
Kalau ternyata masih berubah, ya, aku minta maaf,” ujarnya pada balasan email yang kubaca pukul 1 malam.
Masih ada
kehidupan setelah kematian. Menulis, adalah salah satu dari banyak jalan untuk
menghadapi “kehidupan” kedua tersebut. Atas izin-Nya, semoga jalan itu terang
benderang.
Pay selalu
berpesan agar kita benar-benar memaknai proses hidup ini.
Jika kita
mampu memaknai proses hidup seperti apa yang telah diajarkan Rasulullah SAW
lewat mukjizat (Al-Qur’an) dan Hadits niscaya kita akan selalu mengingat bahwa hidup
di dunia ini begitu sebentar dan tidak layak untuk disia-siakan.
“Mengingat Tuhan, Allah SWT adalah masa-masa aku
bersedih saat menulis. Aku sangat sadar, aku bukan siapa-siapa. Aku masih harus
banyak belajar, dan dalam proses belajar ini, betapa sadar, seringkali aku
melupakan Tuhan. Aku tak ingin jauh dari Allah. Aku ingin selalu berada di
dekat-Nya, di dunia ini, terlebih di akhirat kelak. Aku sangat sadar, begitu
sering aku menyia-nyiakan hidup ini demi kesenangan dunia. Kadang aku menjadi
angkuh. Sungguh, aku tidak ada apa-apanya di hadapan Allah. Sebagian teman
menganggapku lucu, cuek, slow jak budaknye, tak banyak yang mengetahui pada
sepertiga malam, aku sesegukan sebab ingin selalu dekat dengan-Nya”
sepertiga malam
kepada
siapa hendak kuceritakan
bahwa aku rindu ayat-ayat tuhan
beratus jejak berkarat terkubur debu
merasuk dalam nurani beku
entah pada catatan harian
atau berbait-bait sajak
aku ingin menulis dosa
bahwa hidup tak sekedar kontemplasi tanpa suara
“sebab neraka tak dingin oleh airmata”
Yogyakarta, 2001
bahwa aku rindu ayat-ayat tuhan
beratus jejak berkarat terkubur debu
merasuk dalam nurani beku
entah pada catatan harian
atau berbait-bait sajak
aku ingin menulis dosa
bahwa hidup tak sekedar kontemplasi tanpa suara
“sebab neraka tak dingin oleh airmata”
Yogyakarta, 2001
sajak menjelang jam 3 pagi
mungkin
cuma sajak yang bisa tertulis
ketika hati tak bergetar lagi
mendengar ayat-ayat tuhan
langkah kaki setelah mencium tangan ibu
tercatat dalam sejarah kelam
aku terseok
tergeragap mengeja zaman
meradang
sebelum akhirnya menggelepar
di atas lantai tanpa sajadah
: sia-sia menyulam sesal
2001
ketika hati tak bergetar lagi
mendengar ayat-ayat tuhan
langkah kaki setelah mencium tangan ibu
tercatat dalam sejarah kelam
aku terseok
tergeragap mengeja zaman
meradang
sebelum akhirnya menggelepar
di atas lantai tanpa sajadah
: sia-sia menyulam sesal
2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar