Sabtu, 06 Juni 2015

tugas kuliah: menulis Feature



Kota wali, kota sejuta beradaban
Bisakah kita sedikit lebih lama menikmati estetika alam di kota ini? Sang waktu kini semakin rakus meraup tiap-tiap detik perjalanan demi perjalanan hebat ini. Ada bimbang yang mengepul disana karena perasaan naif ini belum cukup puas merekam detail-detail kota wali ini.
Ya. Tepat hari ini kami mengunjungi kabupaten Demak, Jawa Tengah yang lebih terkenal oleh wisatawan muslim dengan sebutan Kota Wali, kota dengan beribu peradaban dan sejarah. Kota agung yang disananyalah terdoktrin ajaran-ajaran islam yang sebelumnya pada abad ke-16 menjadi kota pusat kerajaan besar yang didirikan oleh Raden Patah yang kemudian menjadi kerajaan islam pertama di Pulau Jawa.
Kerajaan islam Demak ini mewariskan salah satu kejayaannya yaitu Masjid Agung Demak yang hingga kini masih selalu dikunjungi oleh para peziarah serta wisatawan domestik maupun manca negara. Kota ini menduduki rangking kedua setelah Candi Borobudur dalam hal banyaknya jumlah pengunjung.
Butuh waktu kurang lebih satu jam perjalanan menggunakan bus dari kota Semarang menuju kabupaten Demak. Setibanya di Demak, kami mengitari alun-alun yang di sepanjang jalan masuknya tumbuh berjejer pohon waringin (beringin). Matahari mulai mencakar langit-langit, udara memang terasa panas namun, tidak menyengat karena banyak pepohonan dan rerumputan hijau yang membuat alun-alun begitu asri.
Azan berkumandang, waktu zuhur telah tiba. Kami bergegas meneruskan perjalanan menuju masjid agung yang dibangun tidak jauh dari alun-alun. Masjid ini merupakan masjid yang tertua di Indonesia yang dipercayai pernah menjadi tempat berkumpulnya para ulama (wali) penyebar agama Islam. Masjid ini berhalaman cukup luas, di halamannya terdapat tanaman bunga yang tumbuh dengan apik mengelilingi halaman masjid. Ketika menginjakkan kaki ke lantai, kami merasakan segenap aliran darah beredar dengan tenang. Lantainya dingin, berwarga agak gelap. Di dalam masjid terdapat beberapa tiang kayu raksasa, orang jawa menyebutnya saka guru, yang dibuat oleh beberapa wali diantara wali songo.  
Masjid ini mempunyai bangunan-bangunan induk dan serambi. Bangunan induk memiliki empat tiang utama yang disebut saka guru. Bangunan serambi merupakan bangunan terbuka. Atapnya berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang disebut Saka Majapahit.
Indah bukan kepalang. Masjid ini  memiliki keistimewaan berupa arsitektur khas ala Nusantara. Masjid ini  menggunakan atap limas bersusun tiga yang berbentuk segitiga sama kaki. Atap limas  ini berbeda dengan umumnya atap masjid di Timur Tengah yang lebih terbiasa dengan  bentuk kubah. Ternyata model atap limas bersusun tiga ini mempunyai makna,  yaitu bahwa seorang beriman perlu menapaki tiga tingkatan penting dalam keberagamaannya: iman, Islam, dan ihsan.
Seluruh seluk beluk yang dibangun pada masjid ini memiliki filosofi tersendiri, misalnya Serambi masjid berbentuk bangunan yang terbuka yang memiliki lima  buah pintu yang menghubungkan satu bagian dengan bagian lain, ini memiliki  makna rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Masjid ini juga memiliki enam buah jendela, yang juga memiliki makna rukun iman, yaitu percaya  kepada Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari  kiamat, dan qadha-qadar-Nya.
Bentuk bangunan  masjid banyak menggunakan bahan dari kayu. Dengan bahan ini, pembuatan bentuk  bulat dengan lengkung-lengkungan akan lebih mudah. Interior bagian dalam masjid  juga menggunakan bahan dari kayu dengan ukir-ukiran yang begitu indah dan terasa sejuk.
Bentuk bangunan masjid yang unik tersebut ternyata hasil kreativitas masyarakat pada saat itu. Di samping banyak mengadopsi perkembangan arsitektur lokal ketika itu, kondisi iklim tropis (di antaranya berupa ketersediaan kayu) juga mempengaruhi proses pembangunan masjid.
C360_2014-08-06-09-07-46-766.jpg
Setelah menunaikan ibadah, kami mengambil potret di depan masjid, sebagai kenang-kenangan perjalanan. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan di lingkungan masjid yang  juga terdapat komplek makam sultan-sultan Demak dan  para abdinya. Di sana juga terdapat sebuah museum, yang berisi berbagai hal mengenai riwayat berdirinya Masjid Agung Demak.
Sesampainya di makam, banyak rombongan peziarah yang turun dari bus, kemudian dengan didampingi oleh petugas makam, mereka membaca doa dan zikir. Doa dipanjatkan dengan khidmat dan khusyuk di sebuah pondopo. Selanjutnya setelah berdoa, para rombongan diajak berkeliling melihat-lihat makam wali. Sambil melihat orang-orang yang berdatangan silih berganti, baik dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum, tidak lupa kami mengisi daftar buku tamu dan menyelipkan uang pada kotak yang telah disediakan. Lorong demi lorong kami lewati, membayangkan keadaan zaman sebelum islam berhasil disebarkan. Kami seperti kembali ke masa lalu, membaca uraian demi uraian yang terpampang pada dinding bangunan. Setelah puas berekeliling, kami makan di warung kecil. Harga makanan yang ada di sana sangat murah, dengan uang lima ribu rupiah kalian bisa memesan soto ayam beserta nasi dan kalian akan merasakan nasi pecel dengan harga tiga ribu rupiah. Hemmm sangat berbanding jauh bukan dengan kota khatulistiwa?
Setelah makan, kami memutuskan berangkat lagi menuju kabupaten kudus untuk berziarah ke makam sunan muria yang terletak di desa colo, kecamatan dawe. Bagi kalian penikmat wisata religi, satu lagi objek yang wajib dikunjungi ketika singgah di Kabupaten Kudus. Adalah Makam Sunan Muria Syeh R.Umar Sa'id yang berada di lereng Gunung Muria. Lokasi wisata religi ini berjarak sekitar 18 kilometer dari pusat kota Kudus
Kami berangkat menggunakan kendaraan umum dengan membayar uang sejumlah lima belas ribu untuk tiga orang. Makam sunan muria berlokasi di atas sebuah bukit. Sehingga para peziarah yang hendak berziarah harus menapaki anak tangga sejauh + 500 meter. Di kiri kanan anak tangga berderet kios para penjual makanan dan souvenir seperti baju batik, pernak pernik, kipas, tasbih dan lain-lain.
Bagi yang tidak kuat mendaki anak tangga bisa memilih jasa tukang ojek. Dengan jasa ini selain bisa menghemat energi, selama perjalanan kita akan disuguhi pemandangan yang menarik.
Bagaimana tidak menarik, kalau ketika melaju di tepian bukit tukang ojek melaju dengan ganas. Sejauh mata memandang hanya ada hamparan gunung dibalut asap kabut karena udara disana sangat dingin. Dana yang harus dikeluarkan ketika naik senilai delapan ribu rupih, dan jika ingin turun menggunakan ojek lagi dana yang akan dikeluarkan sejumlah lima ribu rupiah saja.
Untuk mencapai makam yang berada satu kompleks dengan Masjid Sunan Muria ini,
kami harus melalui ratusan anak tangga dari pintu gerbang. Sejumlah peninggalan Sunan Muria masih dapat dijumpai, seperti bangunan masjid beratap Joglo bertingkat tiga dan beratap kayu sirap.
Selain itu,
kami menikmati bahan bangunan lama seperti tempat salat imam, fondasi empat soko masjid atau 'umpak', juga sebuah bedug yang dibuat tahun 1834.
C360_2014-08-07-07-19-02-027.jpg




Tidak ada komentar: