Rabu, 14 Oktober 2015

hingga saat dan detik ini, aku masih tak mengerti bagaimana ikhlas itu bekerja..
bagaimana cara menggantung harapan hanya kepada Tuhan.
aku tak mengerti mengapa kita harus bersabar saat melewati jalan, sedangkan kaki kita telah berdarah dan bernanah karna kerikil yang tajam.
apa yang ada di kepalamu, jika aku bertanya makna berjuang jika orang yang kau perjuangkan tak menganggapmu melakukan apa-apa. apakah kau akan bergantung dan lebih berharap, atau kau akan mundur dan pergi.

***


"Kukila" Aan Mansyur

Nak, dua hal aku benci dalam hidup: September dan pohon mangga. September tidak pernah mau beranjak dari rumah. Betah. Ia sibuk meletakkan neraka di seluruh penjuru. Di ruang tamu. Di ranjang. Di meja makan. Bahkan di dada.Batang pohon mangga tetap selutut persis prasasti batu. Ia berdiri mengekalkan dosa-dosa�dan dosa adalah pemimpin yang baik bagi penyesalan-penyesalan.
Kukila adalah perempuan itu, yang membenci September dan pohon mangga. Hidupnya didera rasa bersalah yang besar, kepada mantan suaminya, mantan kekasihnya, dan anak-anaknya. Kepada suratlah dia berbicara dan kepada pohon-pohonlah dia menyembunyikan masa lalu, karena rahasia, konon, akan hidup aman dalam batang-batang pohon.

lirik lagu tak berjudul


aku melihatmu di sisa-sisa hujan
aku lihat kamu di antara siang malam 
dihirup puisi dunia 
diterkam senja semesta
sampai aku lupa kalau kau tak ada

sambut aku, dewa
sambung doaku saat senyap 
rengkuh aku pada lupa 
agar aku tau cara merelakan 
agar aku tau cara melupakan 

kau buat aku diam
kau buat gigilku tak tertahan 
izinkan aku untuk melupa 
agar aku bisa merelakan 
agar aku bisa melupakan 

Selasa, 13 Oktober 2015

Sebelum azan subuh, aku sudah rindu

Kamu ucap rindu. Aku pun seperti daun kering yang ditiup angin, tanpa sempat merasakan gugur. Kata rindumu menyela, menyambar-aku kena. Entah saat-saat seperti apa yang kamu rindu dariku, aku pun sudah jauh-jauh ke masa-masa yang membawa-bawa perasaan, perasaan yang ada rindunya. Yang kiranya kita terbang, atau hanya melayang, atau hanya jatuh dengan gaya. Aku harus memastikan yang kamu ucapkan adalah rindu. Bukan R-I-N-D-U. Bukan rindu yang letih. Rindu, yang ada tak ada kamu tetap ingin ke seberang sana, yang senantiasa suatu hari nanti. Bukan rindu yang menjerit. Rindu yang berbisik saja, yang kemudian ditiup angin dan tersangkut di ujung-ujung ilalang sebelum wuusshh~ hingga ke seberang sana, yang masih tersangkut akan terbungkus embun saat pagi nanti, setelah semalaman bernyanyi dan menari bersama ilalang, lalu  menetes menyiram akar ilalang dan larut bersama nyanyiannya. Rindu yang bayangnya hanya aku, seperti kata hujan yang selalu dibayangi air.

Tapi, rindu, kamu ucap rindu...

Jumat, 09 Oktober 2015

mengangguklah, jika kamu menerima rindu


dari sini, dari kota yang banyak kelenteng, kamu kusapa.
tersenyumlah, karna bayang wajah itu begitu hangat.
mengangguklah jika kamu menerima rinduku.
kukatakan padamu bahwa aku telah menitipkan salam pada arwah-arwah yang menghirup asap setanggi di kelenteng penjuru kota ini.
jangan takut saat mereka sampaikan salam rinduku, karna ketakutan hanya jika kita tak dapat lagi bercumbu dengan cara bertukar pikiran..

paras cantik gadis lokal kota ini, hanya membuatku tergoda menatap potret wajahmu.
kubelai lembut, potretmu bisu. sahutlah seperti bisik mesra.
sebagian malam kota ini cahaya malamnyaterpejam, remang jadi tampak menyenangkan saat dilewati.
beberapa ruas begitu sepi, hening, rindupun melintas lagi.
bisakah kamu keluar sekarang? lihatlah langit hitam kelabu. kalau kalau tatapku dan tatapmu bertemu.

***
Singkawang, september 2012

Rabu, 07 Oktober 2015

hujan kali ini, Aku sendiri

Sisa hujan masih merintik malam ini. Syahdu suaranya. Aku menggigil menahan semilirnya.
Kau tahu, ketiadaanmu benar-benar meluruhkan segalanya. Aku tak siap.
Aku tak mau menggigil sendiri malam ini. Tapi angin-angin kecil itu selalu menusuk belulang, sesak sekali.
 *** Aku tak mau menggigil sendiri malam ini, tapi aku juga tahu, bersamamu juga tak menghangatkan. Aku rasa hujan kali ini bukan gigilnya yang sejuk, bukan rintiknya, bukan anginnya yang menghantar bias.
Hujan kali ini pecahnya lebih keras terdengar saat jatuh di loteng-loteng yang menaungi lelap lalu mengalir merana. Garis-garisnya lebih kasar, padahal rintiknya reda, bahkan tinggal tetes.
Seperti tetes... Ah, tetes airmataku. Yang tangisnya teredam malam, yang sedihnya tak bertuan. Angin hujan yang hanya semilir mampu menyesakkanku. Hingga aku tak ingin berkata apa-apa, karena kusimpan sedikit nafas untuk mengucap syahadat.
Aku sendiri, hujan kali ini aku sendiri, yang menjadikan gigil ada disetiap tetesnya, karena kesendirian pula sejuk rintiknya mendekap. Aku sendiri, hujan turun beramai-ramai merintikku yang sepi, berjuta-juta tetes menggahi tubuhku yang tak seorang pun merasa kehilangan. Aku basah,
hujan kali ini, Aku sendiri